Label

Selasa, 20 Oktober 2015

Seratus (Setahun) Tahun Kesunyian







Sumber


Benarkah masa kepemimpinan Jokowi-JK sudah genap seratus tahun. Ah, saya tidak sempat menghitungnya. Kalaupun sudah cukup atau malah sudah lebih! Peduli setan. Itu bukan urusan saya.

Tetapi, dengar-dengar, informasi bersileweran di dunia maya. Jokowi-JK memang sudah memimpin republik ini selama seratus tahun. Kayak judul novel saja. Benarkah demikian! Begini saja, tidak perlu menderamatisir situasi. Namun, anggap saja Jokowi-JK benar-benar telah menjabat seratus tahun, tanpa kesunyian tentunya, sebab yang terjadi di masa setahun ini justru keriuhan yang nampak.

Riuh soal apa! Ya, apa saja. Coba, mulailah mengingat sebelum menyimpulkan keriuhan tentang apa saja yang perlu dimasukkan dalam daftar. Hasilnya, tidak sunyi, kan. Saya bilang juga apa. Meski gelaran Piala Presiden tidak dilaksanakan, riuh menyangkut sepak bola pun bakal terdengar. Apanya yang didengar, tentulah sandiwara perseteruan Kemenpora dengan PSSI. Sebenarnya, apa sih yang diributkan sehingga sejumlah bintang sepak bola dalam negeri memerotesnya ke dalam sebuah iklan. Itu juga, sebenarnya iklan produk minuman penyegar atau kritik. Duh! Benar-benar sunyi, eh, maksudnya riuh.

Jokowi-JK, bagaimana pun mereka berdua adalah presiden dan wakil. Cerita tentangnya tidak akan pernah habis sebagaimana pujian dan kritik yang terus menyembul layaknya asap di Sumatera dan di Kalimantan. Begitulah manusia-manusia berusaha ada atau mengada-ada. Sulit dibedakan.

Kepala suku Mojok.Co, Phutut EA, memberi ruang interpretasi seluas-luasnya. Benarkah Jokowi yang Membuat Kita Kecewa? Hayo, silakan dijawab sendiri. Bagi kalian yang memilih di Pilpres setahun yang lalu, bersatulah! Bersatulah memberikan keterangan berdasarkan kadar kekecewaan masing-masing bagi yang kecewa oleh Jokowi. Sedangkan yang tidak sama sekali. Tetaplah di tempat dan tidak perlu ikutan-ikutan merasa dikecewakan.

Gabriel Garcia Marquez, menggubah novel berjudul Seratus Tahun Kesunyian, waktu yang begitu lama mengiringi konflik dalam keluarga Jose Arcadio Buendia. Mengalami kesunyian setelah menghabisi nyawa Prudencio Aguilar yang mengejeknya impoten. Sedangkan Jokowi, tak perlu menunggu satu abad mencipta kesunyian di dalam dirinya sendiri.

Jokowi bukanlah presiden pertama yang mengajak kita berterus terang seluas-luasnya. Tiga presiden sebelumnya telah terjadi. Tegasnya, pasca wafatnya presiden Orba, orang-orang mulai ramai bersuara mengutarakan kekecawaan. Ups, saya keliru, di zaman Orba pun sudah ada, mereka yang bersuara itu sunggu berani. Rela dipenjara atau dipaksa minggat dari dunia nyata sebelum malaikat pencabut nyawa turun ke bumi.

Nilai lebihnya, lewat Jokowi, para jomblo banyak belajar perihal mengumbar kekecewaan. Analogi ini klise sekali. Apa boleh buat, menggunakan perumpaan yang lain sepertinya kurang mengaung. Setelah apa yang terlihat setelah setahun, adilnya memang tidak cukup setahun guna melakukan penilaian, tetapi tidak bijak juga jika harus menunggu lima tahun baru mengajukan komentar.

Halah! Sudahlah, mau setahun atau seratus tahun, kita memang perlu melakukan evaluasi. Itulah Sunnatullahnya.

***
Makassar, 19 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar