Terik mentari menari di ubun-ubun,
bajuku sudah basah dengan keringat yang mengucur, kedua kakiku menjadi legam,
begitupun dengan wajahku. Sepertinya siang ini hari terpanas yang pernah
kulalui.
Sekitar tiga meter di depanku, seorang
perempuan terus berjalan. Dia, adalah ibuku yang sesekali berhenti berbalik
memandangiku.
“Ayo, sedikit lagi sampai,” ucapnya.
Meski nafas masih tersengal, ajakan
itu seolah air yang mengalir di tenggorokanku. Memberikan penyegaran untuk
kembali berjalan.
Sejak saya menginjak kelas empat
sekolah dasar, ibu mengikutkanku dalam perjalanan bisnisnya sebagai pedagang
barang keliling. Saya tidak tahu mengapa ibu memilihku, padahal, ia masih
memiliki anak yang lain. Kakakku, yang lebih dewasa dan tentu lebih kuat
menenteng barang dagangan. Tetapi, saya tak kuasa menolak kala suatu hari
sepulang sekolah, ibu langsung mengajakku ke suatu kampung yang berjarak
sekitar lima kilo meter dari kampung kami. Ibu membekaliku sebuah buku kecil
beserta bulpoin.
“Di buku itu, kamu catat nama-nama
orang yang mengambil barang, nak,” ibu menjelaskan tugas yang akan kujalani.
Hanya mencatat nama, saya pikir ini
sangat mudah. Sebagai siswa kelas empat, tentu saya sudah bisa menuliskan
sesuatu. Tugas kuterima. Sejak saat itu, saya selalu mengikuti ke mana ibu
beranjak menjual barang dagangannya. Di kampung, metode penjual barang seperti
ini disebut pattekeng (Bugis:
menandai atau mencatat). Jadi, pelanggan tidak langsung melunasi barang yang
diambil, melainkan dicicil sesuai perjanjian. Nah, di situlah tugas saya. Mencatat
semua transaksi.
Duh! Rupanya, saya harus berhitung dan
tak sekadar mencatat nama pelanggan ibu. Tugas ini rupanya berat. Ya, sungguh
berat. Sebab di sekolah, saya termasuk siswa yang tidak pernah mendapat nilai
di atas angka enam dalam pelajaran berhitung.
Ibu tahu soal ini, bila ada pekerjaan
rumah menyangkut ilmu berhitung. Kakakkulah yang selalu mengerjakannya. Saya selalu
bermasalah dengan angka-angka. Tetapi, ibu tidak jerih mengajakku
mendampinginya berdagang. Meski sudah sering saya membuat kekeliruan mencatat
pembayaran pelanggan.
Di malam hari, ibu memeriksa ulang
catatan saya. Ia membantuku mengurangi cicilan pelanggan yang telah dibayar dan
mengurai pembagian jangka waktu pembayaran bagi pelanggan baru yang hendak
menyicil.
“Daus, jika Aminah mengambil sarung
dua lembar seharga Rp 20.000,-/ lembarnya. Maka berapa jumlah uang yang harus
dikembalikan jika Aminah menyerahkan selembaran uang Rp. 50.000,-, nak!“ Ini
cara ibu membimbingku menemukan hasil pengurangan.
Di lain kesempatan, ibu mengutarakan
contoh perkalian sebagai berikut:
“Harga selembar baju daster jika
dibayar tunai, itu sebesar Rp 35.000,-. Tetapi, jika dicicil dengan jangka
waktu sebulan dengan empat kali pembayaran. Maka, Halima harus menyetor uang
sebanyak Rp 12.000,- sekali seminggu. Nah, berapakah harga baju daster?”
Contoh yang demikian, sebenarnya juga
ada di buku paket pelajaran yang diajarkan di sekolah. Di sinilah persolannya,
contoh soal seperti ini malah semakin membuatku pusing.
Melihat gelagat saya yang sulit
menebak soal itu, ibu kemudian memintaku ke rumah Halima saban Minggu untuk
menagih. Uang tagihan itu kemudian saya simpan di tempat tertentu dan sengaja
tidak digabung dengan uang tagihan yang lain sebagaimana saran ibu. Empat minggu
kemudian, barulah saya tahu kalau jumlah yang harus dibayar Halima, itu
sebanyak Rp 48.000,-.
Setelah penagihan selesai, ibu kemudian
memintaku menghitung laba dengan cara menyuruhku ke warung untuk membeli sabun
mandi, pasta gigi, sabun colek, vetsin, dan garam. Tak lama kemudian, saya sudah
kembali ke rumah dengan barang pesanan ibu itu.
“Jadi, berapa laba yang didapat, nak!”
“Banyak, bu. Kita mendapatkan perlengakapan
mandi, mencuci, dan bumbu dapur,” ucapku.
Ibu tersenyum, ia kemudian kembali
memintaku ke warung menanyakan total harga dari pembelian barang-barang itu.
“Kata pemilik warung, semuanya Rp
13.000,-, bu,” ucapku sekembali dari warung.
“Nah, itulah laba yang didapat, nak!
Sekarang, kamu hitung berapa harga satuan semua barang yang telah kamu beli
itu.”
Guna mengetahui itu, tentu saja saya
kembali lagi ke pemilik warung.
***
Pengalaman saya belajar berhitung bersama ibu di atas, hingga kini masih membekas. Saya menyadari kalau ajakan ibu
agar saya terlibat dalam proses dagang, merupakan cara sederhana yang bisa ia lakukan dalam memberikan bimbingan. Contoh soalnya memang mirip
dengan apa yang ada di sekolah. Akan tetapi, saya mendapatkan kasih yang
sungguh mulia, ibu tidak pernah membentak apalagi menyebut kata ‘bodoh’ bila
saya tak sanggup menjawab, pun berlaku bila ibu merugi akibat saya salah
mencatat.
Saya pikir, itulah proses. Ibu saya
memang bukan ahli matematika. Dulu, ia hanya pedagang kecil. Berkeliling
kampung menenteng barang. Sekaligus tidak luput menyiapkan bekal bagi anaknya. Meski
kemudian ilmu berhitung saya tidak mengalami kemajuan yang berarti. Akan tetapi,
ibu saya tidak lalai menjadi lentera bagi perjalanan jiwa anaknya.
Sisi lain yang
saya dapatkan dari contoh belajar berhitung dari ibu, ialah kemampuan saya
untuk menyusun cerita. Dengan keahlian ini, saya mewakili sekolah dan menjadi
juara untuk lomba mengarang tingkat sekolah dasar.
Saya yakin,
ibu saya percaya kalau setiap anak memiliki keunikan dan keahlian
tersendirinya. Karena itulah, ibu saya tidak memaksakan sesuatu pada
saya. Ia hanya menekankan perlunya kerja keras dan ketekunan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar