![]() |
Sumber |
Benarkah masa kepemimpinan Jokowi-JK
sudah genap seratus tahun. Ah, saya tidak sempat menghitungnya. Kalaupun sudah
cukup atau malah sudah lebih! Peduli setan. Itu bukan urusan saya.
Tetapi, dengar-dengar, informasi
bersileweran di dunia maya. Jokowi-JK memang sudah memimpin republik ini selama
seratus tahun. Kayak judul novel saja. Benarkah demikian! Begini saja, tidak
perlu menderamatisir situasi. Namun, anggap saja Jokowi-JK benar-benar telah
menjabat seratus tahun, tanpa kesunyian tentunya, sebab yang terjadi di masa
setahun ini justru keriuhan yang nampak.
Riuh soal apa! Ya, apa saja. Coba, mulailah
mengingat sebelum menyimpulkan keriuhan tentang apa saja yang perlu dimasukkan
dalam daftar. Hasilnya, tidak sunyi, kan. Saya bilang juga apa. Meski gelaran
Piala Presiden tidak dilaksanakan, riuh menyangkut sepak bola pun bakal
terdengar. Apanya yang didengar, tentulah sandiwara perseteruan Kemenpora
dengan PSSI. Sebenarnya, apa sih yang diributkan sehingga sejumlah bintang
sepak bola dalam negeri memerotesnya ke dalam sebuah iklan. Itu juga, sebenarnya
iklan produk minuman penyegar atau kritik. Duh! Benar-benar sunyi, eh,
maksudnya riuh.
Jokowi-JK, bagaimana pun mereka berdua
adalah presiden dan wakil. Cerita tentangnya tidak akan pernah habis
sebagaimana pujian dan kritik yang terus menyembul layaknya asap di Sumatera
dan di Kalimantan. Begitulah manusia-manusia berusaha ada atau mengada-ada.
Sulit dibedakan.
Kepala suku Mojok.Co, Phutut EA,
memberi ruang interpretasi seluas-luasnya. Benarkah Jokowi yang Membuat Kita
Kecewa? Hayo, silakan dijawab sendiri. Bagi kalian yang memilih di
Pilpres setahun yang lalu, bersatulah! Bersatulah memberikan keterangan
berdasarkan kadar kekecewaan masing-masing bagi yang kecewa oleh Jokowi.
Sedangkan yang tidak sama sekali. Tetaplah di tempat dan tidak perlu
ikutan-ikutan merasa dikecewakan.
Gabriel Garcia Marquez, menggubah
novel berjudul Seratus Tahun Kesunyian, waktu
yang begitu lama mengiringi konflik dalam keluarga Jose Arcadio Buendia.
Mengalami kesunyian setelah menghabisi nyawa Prudencio Aguilar yang mengejeknya
impoten. Sedangkan Jokowi, tak perlu menunggu satu abad mencipta kesunyian di
dalam dirinya sendiri.
Jokowi bukanlah presiden pertama yang
mengajak kita berterus terang seluas-luasnya. Tiga presiden sebelumnya telah
terjadi. Tegasnya, pasca wafatnya presiden Orba, orang-orang mulai ramai
bersuara mengutarakan kekecawaan. Ups, saya keliru, di zaman Orba pun sudah
ada, mereka yang bersuara itu sunggu berani. Rela dipenjara atau dipaksa
minggat dari dunia nyata sebelum malaikat pencabut nyawa turun ke bumi.
Nilai lebihnya, lewat Jokowi, para
jomblo banyak belajar perihal mengumbar kekecewaan. Analogi ini klise sekali.
Apa boleh buat, menggunakan perumpaan yang lain sepertinya kurang mengaung. Setelah
apa yang terlihat setelah setahun, adilnya memang tidak cukup setahun guna
melakukan penilaian, tetapi tidak bijak juga jika harus menunggu lima tahun
baru mengajukan komentar.
Halah! Sudahlah, mau setahun atau
seratus tahun, kita memang perlu melakukan evaluasi. Itulah Sunnatullahnya.
***
Makassar,
19 Oktober 2015